Sepuluh hari berlalu dari bulan Ramadhan tahun 8 Hijriah. Sepuluh
ribu pasukan Islam, dipimpin oleh panglima tertinggi kaum Muslim,
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam (SAW), bergerak meninggalkan
Madinah menuju Makkah. Mereka ingin membebaskan Makkah dari penguasaan
kaum kafir.
Ketika sampai di Marru Zahran, hari sudah masuk malam. Sang panglima
memerintahkan pasukannya untuk menyalakan obor. Dalam sekejap lembah itu
terang benderang.
Kebetulan saat itu tiga anggota pasukan kafir Quraisy, Abu Sufyan bin
Harb (yang belum memeluk Islam), Hakim bin Hizam, dan Budail bin Warqo,
sedang mengintai lembah tersebut untuk mencari berita. Manakala ribuan
obor tiba-tiba menyala, terkejutlah mereka. Siapa yang menyalakan
obor-obor tersebut? begitu pikir mereka.
Ketiga orang tersebut langsung mengetahui bahwa pasukan Muslim lah
yang menyalakan obor-obor itu, ketika melihat Abbas bin Abdul Muthalib.
Abbas pun memergoki dan mengenali ketiganya.
Terjadilah dialog antara Abbas dan ketiga orang tersebut. Dari dialog
tersebut tahulah Abu Sufyan bahwa Makkah sedang berada dalam ancaman
akan diduduki musuh.
Lalu, Abu Sufyan bertanya kepada Abbas. Apa yang harus saya lakukan?
Naiklah ke punggung hewan tungganganku ini. Aku akan membawamu ke
hadapan Rasulullah (SAW) dan minta jaminan untukmu, jawab Abbas.
Abu Sufyan segera menuruti perintah Abbas. Sedangkan kedua temannya kembali ke Makkah.
Tak dinyana, Abu Sufyan tak diperlakukan selayaknya sebagai musuh oleh
Rasulullah SAW. Kelembutan sang panglima tertinggi kaum Muslim ini
meluluhkan hati Abu Sufyan. Ia pun menyatakan keislamannya.
Pasukan Islam kemudian bergerak menuju Makkah. Tanpa perlawanan berarti, Makkah berhasil diduduki pasukan Muslim.
annya menunjukkan jati diri Islam yang damai. Andaikan kaum Muslim
saat itu ingin membalas sakit hati atas perlakuan keji penduduk Makkah
yang menyiksa, memboikot, mengusir, menodai kaum Muslim dan keluarganya
delapan tahun silam, pastilah orang-orang akan memakluminya. Namun,
Rasulullah SAW justru memaafkan mereka.
Bahkan, Abu Sufyan, orang yang belum lama menyatakan keislamannya,
justru diangkat namanya oleh Rasulullah SAW saat berpidato di hadapan
penduduk Makkah. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa
yang masuk ke Masjidil Haram, ia selamat. Antumuth thulaqaa (kalian
semua bebas).
Pembebasan Makkah berlangsung damai, tanpa dendam dan pertumpahan darah.
Kaum Muslim tak mau merendahkan musuh yang kalah. Dan, sekitar 2 ribu
penduduk Makkah langsung mengucap kalimat syahadat.
Kata As-Salam
Islam, yang menjadi nama din (agama) kita, berasal dari kata
as-Salam, artinya keselamatan, atau mencari jalan damai. Islam dan
as-Salam secara sinergis menciptakan ketenteraman, kedamaian, keamanan,
dan ketenangan.
As-Salam adalah salah satu prinsip yang ditanamkan Islam dalam jiwa
pemeluknya, agar menjadi bagian penting dari kepribadiannya. Kehadiran
Islam menyucikan kehidupan pemeluknya.
Menurut Imam Asy-Syatibi, Islam hadir untuk menjaga dharuriyyatul khams
(lima tujuan pokok) kehidupan: memelihara agama (din), jiwa, keturunan,
harta, dan akal dari berbagai kontaminasi yang bisa merusaknya.
Imam Qarrafy menambahkan jumlah yang lima di atas menjadi enam yaitu memelihara kehormatan diri (hifzhul irdh).
Itulah sebabnya Islam mengharamkan menggunjing (ghibah) dan menuduh
orang berbuat zina (qadzfuzzina). Dalam sabdanya, Rasulullah SAW pernah
menyatakan bahwa orang Islam itu haram darahnya, harga dirinya, dan
hartanya atas orang Islam yang lain.
Di sini harga diri disandingkan dengan darah dan didahulukan atas
harta. Bahkan, bukanlah seseorang dikatakan berperilaku sebagai seorang
Muslim jika orang lain tidak selamat dari gangguan lisan dan tangannya.
Dengan selalu mengucapkan salam kepada sesama dan ber-mushafahah
(saling berjabatan tangan) di samping bisa merontokkan dosa pelakunya,
juga bisa melunakkan dan menjinakkan hati.
Orang yang paling utama dan paling dekat kepada-Nya adalah orang yang
apabila berjumpa dengan saudara Muslim yang dikenal maupun yang tidak
dikenal, memulai dengan mengucapkan salam.
Di medan perang, jika seorang pasukan melontarkan kata salam dari lidahnya, perang wajib dihentikan terhadapnya.
Allah Subhanahu wa Taala (SWT) berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan salam kepadamu: Kamu bukan seorang mukmin (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia..
(An-Nisa [4] : 94).
Ketika Nabi SAW dan para sahabat pertama kali memasuki kota Madinah,
beliau berkata, Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan,
jalinlah silaturrahim, shalat malam lah saat manusia sedang tidur,
engkau akan masuk surga dengan damai.
Penghormatan Allah SWT kepada orang-orang beriman adalah dengan salam.
Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari
mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia
bagi mereka. (Al-Ahzab [33] : 44)
Penghormatan Malaikat kepada manusia di hari akhirat juga dengan salam.
(yaitu) syurga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu. (sambil mengucapkan): Salamun alaikum bima shabartum (salam
sejahtera semoga dilimpahkan kepada kalian atas kesabaran kalian). Maka
alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Radu [13]: 23-24)
Nama tempat tinggal orang-orang shaleh di surga adalah Darul Amn was Salam (tempat aman dan damai).
Bagi mereka (disediakan) darussalam (syurga) pada sisi Tuhannya dan
dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal shalih yang selalu mereka
kerjakan. (Al-Anam [6] : 127)
Allah SWT menyeru manusia kepada Darus Salam (tempat tinggal yang penuh kedamaian). Ini sesuai firman Allah SWT:
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (Yunus [10] : 25)
Para penduduk surga tidak pernah mendengar ucapan dan tidak berbicara selain salam (kedamaian). Allah SWT berfirman:
Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak
pula perkataan yang menimbulkan dosa. Akan tetapi mereka mendengar
Ucapan salam. (Al-Waqiah [56]: 25-26)
Berbagai pengulangan kata salam dalam ayat dan cerita di atas
hendaknya bisa membangunkan jiwa, mencerdaskan pikiran, dan menggerakkan
badan agar kita, kaum Muslim, bersemangat mewujudkan perdamaian di
tengah-tengah kehidupan. Tak ada alasan untuk menolak hal ini.
Dan, fakta dalam sejarah menunjukkan, Islam sebagai agama dakwah
(dinud dawah wal intisyar) tersebar ke seluruh dunia lewat amal, akhlak,
dan perilaku penyerunya yang membawa kedamaian.
Kalau pun kaum Muslim ketika masa Rasulullah SAW dan para sahabat
kerap melakukan perang, itu bukanlah atas dasar kebencian dan
permusuhan, namun lebih atas alasan pembebasan.
Sayangnya kini, dinding paling tebal yang membatasi Islam dengan
masyarakat dunia adalah kaum Muslim itu sendiri. Keindahan Islam sebagai
agama pembebas dan agama yang damai seolah-olah hanya berada dalam
kitab-kitab sejarah.
Ambisi telah menenggelamkan makna damai dalam Islam. Justru yang
tampak kini adalah keangkuhan demi memenuhi ambisi pribadi dan kelompok
tadi.
Dan,orang-orang yang tak suka dengan Islam akan mencibir, Mengapa kedamaian tak tampak pada pemeluk agama yang damai ini?
Wallahu Alam bish Shawab.
(suara hidayatullah)
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 komentar on Islam Itu Agama Damai :
Post a Comment and Don't Spam!