Mengembalikan Jati Diri Bangsa, bulan ini merupakan moment yang sangat tepat untuk Mengembalikan Jati Diri Bangsa ini yang masih terpuruk, bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Ibadah haji merupakan ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengan ibadah Haji, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
Haji merupakan suatu lambang dari puncak ketangguhan pribadi dan puncak ketangguhan sosial. Haji adalah sublimasi dari sholat dan keseluruhan rukun Iman. Haji merupakan lambang perwujudan akhir dari Rukun Islam.
Haji
merupakan suatu langkah penyelarasan nyata antara alam pikiran dengan
praktek. Haji adalah suatu simbul praktek yang sempurna, transformasi
dari suatu pikiran ideal (fitrah) ke alam nyata secara sempurna. Haji
adalah keselarasan antara Iman dan Islam. Secara prinsip Haji merupakan
suatu konsep berfikir yang berpusat hanya kepada Allah, yang akan
menumbuhkan kesadaran diri (self awareness), hakekat diri, jati diri.
Secara
sosial haji merupakan simbol kolaborasi tertinggi yaitu pertemuan pada
skala tertinggi di mana umat Islam sedunia melaksanakan langkah yang
sama dengan landasan prinsip yang sama pula.
Haji merupakan simbol dari siklus kehidupan manusia (life cycle),
diawali dangan kelahiran yang fitrah dan diakhiri dengan kematian yang
fitrah pula plus pertanggungjawaban semasa menjalankan misi Tuhan
sebagai Rahmatan Lil ‘alamin.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha.
Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya
hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak
melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak
untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Peristiwa
ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi
Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun
ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim
dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau
mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan
perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari
ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya,
Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.
Kisah
tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada
Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk
darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra
kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan
Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani dalam rangka mengembalikan jati diri bangsa ini yang masih terpuruk.
Momen ini mari kita jadikan sebagai muhasabah terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini. Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela di negeri tercinta ini. Kasus suap, sogok menyogok, “markus” atau makelar kasus masih mewarnai negeri ini. Demi menumpuk kekayaan mereka rela menanggalkan “baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama.
Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari
nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani
sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap
ajaran agama.
Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya penyembelihan binatang
kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan
sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berqurban, kita telah
melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Bentuk
solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam
pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini
menunjukkan bahwa kita harus senantiasa respek dan peduli terhadap
fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban,
kita dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan
terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi
terhadap sesama.
Mungkin kita sering
khilaf berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi
dengan kesalehan sosial. Mungkin kita rajin shalat, puasa bahkan mampu
ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat
sekitarnya. Mudah-mudahan kita bisa mengambil momentum ini untuk
meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan
kesalehan sosial dalam rangka untuk Mengembalikan Jati Diri Bangsa. Dengan senantiasa mengagungkan asma Allah, dengan senantiasa berdzikir.
Semoga kita mampu menanggalkan atribut-atribut artificial
yang kita sandang. Yakni kita benar-benar telah bebas dari
keinginan-keinginan pribadi. Semua tindakan kita didasarkan pada prinsip
lillahi ta’ala (hanya karena Allah ). Pada stadium inilah keikhlasan
dan ihsan itu berada. Pada saat itu kita akan menemukan kesadaran akan
nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaannya. Seperti memiliki kelembutan
hati, kehalusan budi pekerti (akhlak), keadilan, keberanian, kasih
sayang, kejujuran, amanah, kedermawanan, keikhlasan, dan ketaatan untuk
mencapai ridho Allah SWT. Kemudian hidup ini akan senantiasa sibuk
memperbaiki diri dan dibarengi dengan amal shaleh.
Semoga
kita bisa senantiasa menundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah
Yang Maha Besar. Bisa mencampakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan
kecongkaan yang dapat menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun
kebesaran yang kita sandang, kita kecil di hadapan Allah. Betapa pun
perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang Maha Kuat. Betapapun hebatnya
kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya dalam genggaman Allah
Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Semoga dengan muhasabah ini dalam rangka memperingati Idul Adha akan menggugah kesadaran kita untuk senantiasa rela berkorban untuk negeri kita tercinta yang tidak pernah luput dirundung kesusahan.
Dalam
kondisi seperti ini sebenarnya kita banyak berharap dan mendoakan
mudah-mudahan para pemimpin kita, elit-elit kita, dalam berjuang tidak
hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya, tapi untuk
kepentingan bangsa dan negara. Pengorbanan untuk
kepentingan orang banyak tidaklah mudah, berjuang dalam rangka
mensejahterahkan umat memang memerlukan keterlibatan semua pihak. Hanya
orang-orang bertaqwalah yang sanggup melaksanakannya.
Mudah-mudahan
perayaan Idul Adha kali ini, mampu menggugah kita untuk rela berkorban
demi kepentingan agama, bangsa dan negara, amiin ya robbal alamin.
Selamat berhari raya !!!
0 komentar on Memahami Makna Idul Adha :
Post a Comment and Don't Spam!